INVESTIGASI TASK

Senin, 28 Maret 2011 Label:

BAB I. JURNALISME INVESTIGASI DI INDONESIA
A.    Pengaruh politik
“Di asia, saya piker Filipina yang pertama kali memiliki organisasi semacam Philippines center for investigative journalism (PCIJ),” menurut Andreas Harsono. Organisasi ini didirikan sekelompok wartawan muda, pada tahun 1989, setelah dictator Ferdinand marcos melarikan diri dari Filipina. PCIJ didirikan oleh kepentingan para wartawan muda yang ingin mengerjakan peliputan in- depth reporting ataupun investigative reporting diberbagai media mereka. Mereka jenuh dengan tradisi pencarian liputan breaking news, yang tidak memerlukan kedalaman apalagi investigasi dalam reportasenya.
Pelaksanaan jurnalisme investigative di Indonesia dipengaruhi oleh system politik yaitu keterbukaan dan kemerekaan pers. Pelaporan jurnalisme investigatife dari pers Indonesia akhirnya selalu dikaitkan dengan suara politik yang berisik dan mengganggu kekuasaan. Kegiatan pers Indonesia ditakuti oleh tindakan pembredelan penguasa. Namun, disela- sela represivitas yang demikian besar, jurnalisme investigative masih ada yang mengerjakan.
Beriku ini aalah ilustrasi gambaran jurnalisme investigative di Indonesia :
B.     Indonesia raya
Di Indonesia harian Indonesia raya merupakan salah satu media di Indonesia yang banyak di nilai cukup fenomenal didalam pelaporan investigasi. Harian Indonesia raya (1949- 1958 dan 1968- 1974) bisa dikatakan tipikal awal penerbitan pers yang mengarahkan liputanny kedalam bentuk investigasi. Visi jurnalismenya mengambil konsep advocacy journalism, sebuah aliran di New Journalism yang berkembang di amerika serikat, tahun 1960-an, dengan mengambil format pemberitaan crusading dalam materi- materi liputannya. Harian ini juga membawakan media yang bersifat muckraking paper yakni surat kabar yang melakukan penyidikan mengenai kasus korupsi atau tuduhan korupsi oleh pemerintah. Berita penyidikan merupakan perangkat tehnik pelaporan surat kabar ini. Dan gaya pembeberannya yang terbuka dengan mencantumkan atribut lengkap nama- nama yang terkait dengan subjek berita, kerapa menimbulkan kecaman dari berbagai kalangan masyarakat.
C.    Orde baru
Pengaruh tiga decade kekuasaan orba merepresi kehidupan pers Indonesia telah menjadikan pengenalan istilah investigative tidak begitu dikenali secara utuh dalam pedoman peliputan pers Indonesia. Amnesia sejarah seakan melingkupi berbagai diskusi pers Indonesia. Hal itu menjadikan investigasi tidak dikenali sebagai kaidah peliputan jurnalisme Karena kesengajaan kekuasaan untuk melarang pers bekerja sebagai penyelidik berbagai kasus yang terjadi pada umumnya pemerintahaan.
Pekerja pers Indonesia masih mengerjakan investigative, sebagai sebuah pendekatan yang bersifat temporer. Tanpa memberikan rincian data dan sampel.sebab yang menjadi penghambat kegiatan peliputan investigative yakni pers Indonesia masih menilai bahwa laporan investigative adalah laporan yang memakai biaya tinggi. Proses liputannya menghabiskan waktu yang amat panjang. Hasil akhir yang tidak pasti memberika halangan juga kepada gairah wartawan Indonesia. Ditambah lagi resiko yang besar yang timbul akibat peliputannya. Dan, persyaratan modal kuat, keuletan, dan kesabaran yang harus dimiliki wartawan investigative Indonesia belum mendapat tempat dikalangan pers saat itu.
Pada awal decade 1990-an dari kemungkinan pertumbuhan industry pers di Indonesia dan masih banyaknya hal yang terselubung. Jurnalisme investigative Indonesia memulai investigative secara terurut dari bidang hiburan, social, ekonomi, kemudian baru kebidang politik. Alasannya pers Indonesia akan mulai dari yang resikonya paling kecil serta yang biayanya pun yang paling murah. Baru kemudian sedikit demi sedikit menuju bidang yang lebih membutuhkan modal besar dengan resiko yang besar pula.
Fenomena investigative reporting telah member julukan kepada wartawan amerika serikat sebagai para politikus tanpa tanggung jawab karena ketidak jelasan pers dalam mempertanggung jawabkan kerja investigatifnya.berbagai figure dan tokoh masyarakat di telanjangi secara sensasional dan insinuative seakan bencana social hanya untuk sebuah kesalahan kecil. Medium investigative menjadi pengantar ketidak puasan pihak yang bertingkai dan berselisih dan memangfaatkan pers melalui bocoran informasi yang sengaja dikirim. Pers ibarat inspektur jenderal di dalam pemeriksa dan menyebarkan informasi yang dianggap layak dan patut dengan cara yang kerap melanggar etika dan hokum. Dan tujuan pers hanyalah mengeksplorasi keuntungan financial atas penderitaan orang lain.
Indonesia diharapkan tidak seperti itu. Pers Indonesia harus mencegah persoalan- persoalan yang terjadi di amerika. Tingkah laku pers Indonesia sering menjadi kecaman menurut Tjipta Lesmana. Kecaman itu dinyatakan oleh orang- orang pers sendiri maupun orang- orang akademis dan pengamat. Pada akhir 1980-an beberapa karakteristik yang menandai kehidupan pers Indonesia ialah daya kritis yang minim, daya ingat yang nyaris tumpul, keringnya inisiatif, tidak jalannya fungsi watchdog.
Arah jurnalisme pembangunan menjadi muatan skematik pemikiran pers sebagai cara melaporkan kejadian dan permasalahan yang lengkap disertai dengan latar belakang, relasi dan perspektif. Tata kerja system pers akhirnya terkait oleh sejarah perkembangan media didalam masyarakatnya sendiri. Selain itu, didasari oleh berbagai gagasan mengenai institusi media yang hendak dikenakan kepada pers ketika menjadi mediasi (penghubung) masyarakat dengan peristiwa dunia, penghubung penguasa dengan masyarakat, serta keperluan media mengembangkan system social masyarakat industry/ informasi. Dengan demikian, konseptualisasi pers menjadi terurut kepada factor- factor konvensi (kebiasaan), asumsi, ideology, peraturan, hokum, dan konstitusi yang dipetakan oleh system social politik masyarakatnya.
D.    Depth lebih dikenal
Berdasarkan asumsi teoritis itu, diskusi dan pelaporan pers Indonesia pada fase orba tampaknya menutupi diskusi mengenai jurnalisme investigative, di dalam tubuh pers tidak begitu diminati tidak seperti fase pers Indonesia sebelumnya. Hal ini menjelaskan proses perkembangan yang mulai berubah, di dalam system pelaporan berita pers ketika mendekati penghujung tahun 1990-an.
Ketika pemerintah orde baru mulai keteteran menghadapi gejolak tuntutan kebebasan pers, berbagai media mulai menurunkan pemberitaan yang mengarah kepada pemuatan materi investigative yang independen, berani menolak restriksi para pejabat dari istansi semacam departemen penerangan dan menyetakan sikap tidak begitu takut lagi terhadap tindakan represif seperti pembredelan.
Setelah sekian tahun terfoermat kedalam system pers orde baru yang melarang berbagai temuan berita politik yang menyimpang dari kebijakan otoritarian elit politik, peliputan investigasi tampaknya mulai banyak dipakai wartawan secara serius decade 1990-an. Fase ini merupakan saat- saat akhir era orde baru mulai runtuh dan melonggarkan keketatan tiraninya terhadap keterbukaan dan kebebasan dilatar belakangi era informasi dan globalisasi yang meminta orba untuk mengendurkan cengkeramannya ada piranti pers sebagai alat komunikasi politik.

BAB II. SEJARAH INVESTIGASI
Seperti contoh reportase Wilson memenuhi kebutuhan masyarakat akan informasi yang ditutup- tutupi. Penyingkapan kasus menjadi penting. Pengungkapannya hanya bisa dilakukan dengan reportase yang tidak sekedar melaporkan berbagai fakta yang terlihat. Menceher menyebutnya sebagai upaya wartawan mencium sesuatu dibalik sebuah peristiwa. 
A.    Dari Investigasi sampai Muckraking : di Amerika.
Jurnalisme investigasi sebenarnya mempunyai jejak yang panjang dalam sejarah pers amerika. Beberapa tokohnya tercatat dalam literature Amerika, sebagai pionir pelaporan investigasi. Dengan berbagai kisah perjuangannya, mereka menetapkan pedoman pelaporan jurnalisme investigasi. Bahkan, menggariskan cirri pemberitaan pers sebagai medium wachtdog di khasanah jurnalisme. Dalam hal inilah, pelaporan investigasi menjadi sesuatu yang inheren dengan kaidah pemberitaan yakni : pada dasarnya setiap berita yan dilaporkan wartawan akan terkait dengan upaya investigasi. Penulisan berita straight, yang dikenal sebagai pelaporan pendek untuk konsep 5W +1H, dikerjakan melalui proses pencarian berita yang menginvestigasi kebenaran tiap detil fakta.hal ini bisa ditelusuri dari proses sejarah pemberitaan investigative di Amerika.  
            Istilah investigasi belum dipakai. Istilah investigasi sendiri baru muncul pertama kali dari Nellie Bly ketika menjadi reporter di Pittsburgh Dispatch pada tahun 1890. Ia memulai gaya jurnalistik yang menandakan pengisahan seorang wartawan tentang orang- orang biasa. Pelaporan materi jurnalistik yang mengembangkan secara serial, bagaimana kehidupan orang kelas bawah didalam kenyataan sehari- hari. Bly sampai harus bekeja disebuah pabrik di Pittsburgh untuk menyelidiki kehidupan buruh di bawah umur (anak- anak) yang dipekerjakan dalam kondisi yang buruk.
            Namun, laporan serial jurnalistiknya tidak lama. Ia berhadapan dengan institusi, yang melakukan pelanggaran, yang memiliki daya beli iklan dari Koran tempat Bly bekerja. Akibatnya, lembaga tersebut menghentikan pembelian halaman iklan Pittsburgh Dispatch. Dan pihak editor mengeluarkan kebijakan untuk menghentikan pemberitaan Nellie Bly.
B.     Era Muckraking  
Dengan demikian, jurnalisme investigative bisa dikatakan awal munculnya memakai bentukan  medium perlawanan terhadap kebijakan penguasa. Dalam format laporan yang tidak langsung menginvestigasi pelanggaran, penerbitan yang bervisi semangat jihad ini membuka lembaran awal pekerjaan investigative. Baru pada awal abad ke-20, jurnalisme investigative menegaskan wujudnya di dalam liputan- liputan yang terorganisir, ketika melaporkan berbagai pelanggaran yang terjadi. Sifat laporannya, di awal decade 1990- an, teralokasikan kepada format muckracking atau pendedahan.
Joseph Pulitzer, menurut Mitchell V.Charnley menyatakan ada dua hal yang signifikan yang mendasari reportase investigative : jurnalisme harus membawa muatan pelayanan pencerahan (enlight- ened) public dan sering kali juga kegiatan fighting reporting (reportase perlawanan). Kerja peliputan jurnalistik macam ini dimotivasi oleh semangat keterampilan, keberanian, dan imajinasi. Kerja peliputan tidak hanya puas dengan beritayang dapat dilihat, akan tetapi menyangkut pula kemendalaman penggalian dan agresivitas serta kerap berbahaya/berisiko tinggi terhadap fakta- fakta yang tersembunyi.
Bagi dunia pers Amerika, kehadiran Walter Lippmann mengaksentuasikan sosok ke- punditan bagi profesi jurnalisme pada abad ke-20. Ia melepas nilai kolektifitas kewartawanan sebagai sekumpulan pekerja yang bertugas hanya menjadi pelapor informasi kepada masyarakat. Namun, ia menjadi sosok yang integritas pandangannya, analisisnya, kepiawaian policy-nya dan kemampuan khusus lainnya, wartawan pundit ialah seseorang yang dapat mempengaruhi masyarakat karena otoritasnya diberbagai peristiwa politik. Mereka berperan sebagai sumber dari kerangka opini dan artikulasi opini, agenda setting dan agenda evaluasi. Mereka memasuki perang tokoh bijak yang tahu betul bagaimana mengamati dan mengomentari kejadian- kejadian politik, dan menurunkan keresahan masyarakat akan kerumitan persoalan politik yang tengah terjadi.
Dan dalam kaitan perkembangan jurnalisme investigative pemunculan kepunditan jurnalisme ini terkait dengan motif  perjuangan atau jihad dan pendedahan. Ruang jurnalisme investigative membuka peluangi aspek kewartawanan untuk mengembangkan orientasi invesigaifnya kedalam ruang public. Semanga partisan memang kental dibawakan, namun lebih condong akhirnya unuk disebut pembawa aspirasi yang memiliki kredibilitas. Orienasi politik baik ideologis maupun kepartaian yang dikenakannya. Tidak menghilangkan mereka sebagai pembawa suara pencerahan yang otoritatif.
Pada sisi lain pekerjaan investigative reporting mempunyai akses pada realitas politik masyarakat Amerika.
Gambaran sosok wartawan investigative menginsinuasikan tampilan- tampilan tertentu. Ada nilai romantic idealism jurnalis meraih budaya popularitas. Bukan hanya menampilkan pekerja disebuah meja tapi juga memberikan kemampuan untuk melaksanakan sebuah keerampilan praktis. Dedikasinya teruju kepada kepentingan public, meskipun harus berhadapan dengan kekuasaan dan kejahatan politisi dan para pejabat tinggi yang dapat menghancurkan dan membunuh. Dengan kata lain, mengekspresikan unsure hati yang polos. Sifat heroiknya membawakan misi suci dan petualangan, yang sangat popular pada fase sebelum PD II, yang menyangkut hal- hal mengelikan, tolol, menjijikkan. Konsepsi idealisasinya sebenarnya berada dalam proses selalu ingin ditemukan seperti awal sebuah fiksi memulai kisah. Posisinya kerap direndahakan berikut kemiskinannya, tapi dari hal itu pula tumbuh gairah petualangan di dalam proses mencuri kejadian- kejadian atau keterkenalan.

BAB III. INVESTIGATIVE : DENGAN DEPTH.
Berbagai perinsip pengumpulan pengumpulan berita yang semula hanya ditujukan untuk surat kabar, akhirnya dipergunakan juga untuk segala penerbitan cetak, industry majalah, publikasi keilmuan, the labor press, the foreign language papers dan magazines. Akan tetapi tidak selalu sama. Tiap jenis media membawakan perbedaan pada bentuk pelaporannya. Para pembuat berita akan harus mengenali bagaimana perbedaan menulis untuk media pers dan elektronik.
Pelaporan jurnalistik pun membedakan klasifikasi materi pemberitaan. Ada berita mengenai pemerintahan, politik, keilmuan, bisnis, olahraga, peternakan, buruh, pendidkan, social, dan lainnya. Pemunculan fenomena peliputan interpretative pada pertengahan abad ke-20, mengharuskan wartawan untuk mengenali bagaimana memaparkan latar belakang dari sebuah berita. Hal ini berarti pengenalan terhadap makna sebuah berita, atau apa itu berita.
Selain itu dikenali bentuk berita yang diukur melalui keringkasannya. F.Fraser Bond pada tahun 1960-an, memperkenalkan istilah spot news. Berita ini merupakan potongan- potongan penting dari sebuah peristiwa yang actual, saat itu juga harus dilaporkan. Dengan kata lain, ada sebuah upaya meringkaskan apa yang paling penting harus diketahui masyarakat. Pengertian spot news mengilustrasikan rangkaian kata- kata ajektif yang menunjukkan sifat rush pada materi berita yang dilaporkan. Disana ada: fakta- fakta yang tidak terduga, langsung, baru, penting, segera. Kejadiannya bukan sesuatu yang telah terencanakan dan terskedul. Spot mengindikasikan datangnya peristiwa hanya beberapa menit dari waktu cetak.
Pada kelanjutannya, dunia pemberitaan dipengaruhi oleh berbagai factor. Para reporter dan editor bergerak atas asumsi- asumsi dan kecenderungannya pada opini public. Konsekuensinya, berbagai criteria personal pun dikriteriakan. Ketidaksamaan setiap media terjadi dalam menentukan raihan peristiwa yang dianggap rush. Ukuran isu dan peristiwa dari criteria berita kemudian diperlebar.
Sejalan dengan perkembangan masyarakat, kerangka perumusan berita berkembang pula mengikuti tuntutan kebutuhan masyarakat. Hal- hal yang menjadi ukuran keterkenalan dari tokoh public. Para wartawan harus memperhatikan upaya- upaya pemecahan non-kekerasan di dalam ruang dan waktu pemberitaan mereka. Liputan jurnalistik menuntut materi tentang berbagai sebab yang mendorong terjadinya kerusuhan dalam berbagai motif dan dimensinya.
A.    The Long Stories.
Media cetak mengimbangi kekurangannya dari broadcast journalism, di dalam kecepatan menyampaikan berita the spot melalui pelaporan material berita yang bersifat in-dept mendalam. Para reporter surat kabar membuat kisah- kisah berita bersambung (series) dan endalam dibanyak kolom- kolom Koran mereka. Pelaporan semacam itu disebut liputan the long story. Majalah merupakan media penyampai pelaporan berita the long story.
Jika berita- berita macam the spot dan hard news memiliki materi yang pendek, ringkas, dan sekilas maka the long story adalah pelaporan berita yang dibuat secara panjang, mendalam, dan penuh muatan data. Semua itu disusun secara sistematis, well-organized. Ia harus membawa pembaca tertarik untuk berada disebuah perjalanan yang panjang.
Ide utama atau kata kunci dari tema kerap menjadi sesuatu yang sangat penting ditemukan. Peralatan yang mesti dimiliki wartawan sebelum reportase dikerjakan, bahkan sudah jauh- jauh hari dimiliki sebelum reportase dimulai. Sebuah tema bisa didapat dari saran atau keterangan, penugasan para editor, atau temuan para reporter lain. Namun, bisa juga dengan mengikuti logika kelanjutan dari rangkaian peristiwa berita yang tengah berlangsung dimasyarakat.
Bentukan pemberitaan the long story didalam jurnalisme kerap diistilahkan dengan pelaporan yang disebut Depth Reporting, reporase mendalam. Dalam bebagai seginya, pelaporan depth memiliki kekhususan teknis penulisan. Dan, bagi jurnalisme investigasi pelaporan tipe depth reporting ini sangat erat kaitannya. Bahkan sangat signifikan didalam peliputan investigasi. Beberapa unsure fundamennya merupakan bangunan teknik dari peliputan dan penulisan investigasi.
B.     Depth Reporting.
Wartawan investigasi bekerja tidak dengan kejelasan materi liputan. Waktu liputannya lebih lama, membutuhkan kesabaran dan ketekunan serta  imajinasi pada tiap hari pencarian fakta. Wartawan investigasi seperti menghadapi penolakan, penghadang (roadblocks), dan kerap ancaman atau keadaan benar- benar berbahaya. Waktu dedline bukanlah esok atau hari- hari kemudian, melainkan dapat berlangsung bulanan.
Sebagai sebuah pelaporan jurnalistik, investigasi memiliki unsure kemendalaman. Berita yang ditulis wartawan investigasi isusun secara mendalam. Depth Reporting menjadi salah satu cara/alat bagaimana investigasi diliput dan ditulis.
MV.Kamath mengumpulkan berbagai definisi mengenai depth reporting setelah menyatakan bahwa definisi bisa dikutip :
1.      Depth reporting ialah segala sesuatu yang membuat pembaca tahu mengenai seluruh aspek yang terjadi pada sebuah subjek dari kepastian informasi yang diberikan, termasuk latar belakang dan atmosfernya.
2.      Depth reporting ialah menekankan sebuah kisah-berita dengan semacam ketelitian detil dan latar belakang. Pembaca tidak hanya diberitahu mengenai apa yang terjadi melainkan mengapa hal itu dapat terjadi.
3.      Depth reporting ialah pemberitahuan kepada pembaca inti kisah sesungguhnya, secara mendalam(lengkap), seimbang dan terorganisir dengan kelengkapan latar belakang.
4.      Depth reporting ialah pelaporan sederhana yang bagus dalam hal akurasi dan detil pengamatannya.
5.      Depth reporting ialah kisah yang menjelaskan keterkaitan dan perkembangan dari sebuah kisah berita yang terjadi.
6.      Depth reporting ialah menunjukkan pengembangan pemberitaan dan penjelasannya secara signifikan melalui fhto-foto yang mengilustrasikan pengisahannya.
7.      Depth reporting ialah perencanaan liputan yang hendak mengantisipasi pemberitaan yang bersifat the news is fresh.
8.      Depth reporting ialah bukan pekerjaan satu orang tapi produk dari kerja sama tim.
9.      Depth reporting ialah menyepakati fakta- fakta yang harus dijelaskan bukan opini.
10.  Depth reporting ialah tidak meninggalkan begitu saja pertanaan- pertanyaan yang diajukan pembaca.
11.  Depth reporting ialah bukan hendak mempresentasikan fakta- fakta di dalam pendekatan pertamanya, melainkan hendak memasuki sebuah penyelidikan yang orisinal, logis, memasukkan berbagai tekanan dan kepentingan, membuat pembaca paham bukan kepada siapa dan apa, namun bagaimana, dan yang terpenting, mengapa.
12.  Depth reporting ialah penggalian dibawah permukaan dan mengangkat fakta- fakta bukan sebagai sesuatu yang segera tampak, malainkan hendak member kontribusi pada pemahaman terhadap sebuah kisah.
Tujuan dari pelaporan in-depth reporting menurut Ferguson &Patten ialah untuk mendapatkan kelengkapan pengisahan (comlete stories) pengisahan dengan substansi. Maka itulah, depth reporting kerap disebut juga dengan investigative reporting by nature, peliputan investigative yang terjadi secara natural. Penyelidikan yang dilakukan bukan sengaja ditujukan untuk membongkar atau mengungkap adanya kasus, skandal atau kejahatan yang sengaja ditutup- tutupi. Akan tetapi, terjadi dengan sendirinya. Skandal yang terungkap didapat seakan tanpa sengaja, dari upaya untuk mrnrmukan detil- detil kelengkapan kisah. Tidak ada tujuan dari awal wartawan melakukan liputan. Tidak ada upaya membuat semacam hipotesis bahwa disana diduga telah terjadi kejahatan diam- diam.
            Dengan demikian, berbagai kegiatan peliputan yang dikerjakan wartawan dan didefinisiskan oleh jurnalisme, semuanya masuk ke dalam perangkat depth reporting.pendapat ini disamapaikan oleh para journalist yang tidak lagi menyukai dengan pekerjaan investigasi reporting. Peliputan investigasi yang berusaha mengupas berbagai peristiwa wrongdoing itu telah menjenuhkan para peliput jurnalisme masa kini. Mereka tidak lagi memburu penghargaan Pulitzer dalam bentuk pengisahan.
            Perkembangan masyarakat menuntut informasi yang kompherensif, tidak setengah- setengah, tidak hanya mengungkapkan rutinitas peristiwa harian, bukan hanya sekedar menunjukkan adanya kejahatan disebuah tempat.
            Hal ini meningkatkan perhatian media kepada pelaporan yang memberikan, kepada masyarakat, kisah- kisah yang lebih panjang, komprehensif, serta membutuhkan wawancara dan riset eksentif. Memberikan kesempatan kepada para reporter untuk tidak sekedar menjadi teknisi dari pekerjaan reportase dan penulisan yang harus patuh kepada berbagai pedoman yang rigid. Para reporter diberi peluang untuk mengasah kepekaan mereka didalam ruang liputan kreatif, masuk kedalam kehidupan kehidupan emosional pembaca dan terkadang bertugas sebagai pengungkap dan pengoreksi ketidak adilan, dengan mencantumkan nama pelapornya serta sesekali foto dirinya.
            BAB IV. CIRI JURNALISME INVESTIGATIF   
A.    Mengendus Berita Investigatif
      Kisah di dalam buku merupakan contoh perjalanan pembuatan berita investigative Fred Schulte, menurut Itule-Anderson, sebagai awal dari bagaimana proses berita investigative dikerjakan dengan akhir penyangkalan dari narasumber yang tidak terliput saat melakukan kerja peliputan investigative.  
      Kisah Fred ini merupakan gambaran dari banyak wartawan investigative melakukan apa yang mesti dikerjakan ketika seseorang reporter menerima sebuah tip. Semua itu, dimulai dari sebuah dugaan. Berita spot ini menjelaskan unsure investigative yang hendak mengungkapakn adanya pelanggaran, skandal, atau kejahatan. Basis pengisahannya tidak berbeda dengan pelaporan berita yang hendak mengungkapkan adanya sebuah kejadian.
B.     Jurnalisme Investigatif
      Jurnalisme investigative memang berbeda dengan kegiatan jurnalistik ada umumnya. Menurut Hugo De Burgh (2000) mengutip Boyd, Liyoid, Edwards, Pilger, Tuchman dan lainnya, menjelaskan beberapa unsure dari jurnalisme investigative di dalam campuran bahasan antara teori dan praktek.
      Dunia jurnalisme mengenal perangkat nilai berita, seperti unsure- unsure proksimitas, relevansi, kecepatan, drama, dan lainnya. (Boyd 1994). Para Wartawan membuat berita berdasarkan sumber- sumber yang terkait, teragenda, dan menjadi langganan informasi mereka. Selain tiu, mereka juga menyeleksi apa sumber informasi mereka layak tidak, mengandung kebenaran atau tidak.
      Kisah- kisah investigative memiliki perbedaan dengan pola kisah berita umum. Terminology investigative journalism memberika atribut penyelidikan, keingintahuan, dan misi tertentu dari para wartawannya. Jurnalisme ini tidak mau terjebak dengan adonan dengan pemberitaan entertainment. Liputan beritanya bukan lagi berdasar agenda pemberitaan harian yang sudah terjadwal diluar redaksi. Para wartawan investigasi tidak bekerja berdasarkan pengagendaan berita seperti yang dalam peliputan regular. Mereka memasuki subjek pemberitaan tatkala mereka tertarik untuk mengetahui sesuatu. Kerja peliputannya tidak lagi dibatasi oleh tekanan- tekanan waktu. Ada kekhususan kerja peliputan disbanding biasanya.
C.     Komponen Moral.
      Tujuan kegiatan jurnalisme investigative adalah memberitahu kepada masyarakat adanya pihak- pihak yang telah berbohong dan menutup- nutupi kebenaran. Masyarakat diharapkan menjadi waspada terhadap pelanggaran- pelanggaran yang dilakukan berbagai pihak, setelah mendapatkan bukti- bukti yang dilaporkan. Bukti- bukti itu ditemukan melalui pencarian dari berbagai sumber dan tipe informasi, penelaahan terhadap dokumen- dokumen yang signifikan, dan pemahaman terhadap data- data statistic.
      Dari tujuan tersebut, dapat terlihat adanya tujuan moral yang hendak ditegaskan. Segala apa yang dilakukan wartawan investigative dimotivasi oleh hasrat untuk mengoreksi keadilan, menunjukkan adanya sebuah kesalahan. Bahkan, bila ditelusuri lebih jauh, berbagai definisi jurnalise investigative mengamalkan moralitas watchdog pers. Upaya memberitahukan kepada masyarakat akan adanya ketidak beresan disekitar mereka, mempengaruhi masyarakat mengenai situasi yang terjadi.
      Dorongan moral untuk mendapatkan kebenaran dan mengklasifikasi perbedaan antara benar dan salah, sebagai kandungan kisah- kisah berita investigasi. Wartawan investigative kerap menarik masyarakat untuk terlibat mendiskusikan standar moralitas yang harus ditetapkan. Standar yang mereka kenali dan yakini akan menyadarkan masyarakat. Secara naluri, mereka membuat batasan antara aturan dan penyimpangan. Maka itulah dibanyak kasus citra wartawan investigative menjadi romantic ketika disamakan dengan sosok- sosok yang memiliki keberanian untuk menolak kemapanan aturan dan penyimpangan masyarakat.
D.    Mengembangkan Fakta Dangerous Projects
      Pada titik ini pula, jurnalisme investigative dialokasikan sebagai pekerjaan berbahaya. Para wartawannya berhadapan dengan kesengajaan pihak- pihak yang tidak mau urusannya diselidiki, dinilai, dan dilaporkan kepada masyarakat.
      Kewaspadaan didalam karier kewartawanan menjadi penting. Keberhati- hatian diperlukan bukan hanya untuk keselamatan jiwa. Semua itu bermula dari motivasi menyampaikan the wright a wrong. Berbagai akumulasi materi yang telah ditelusuri pada ujungnya tertuju kepada sebuah konklusi fakta :bahwa ada kenyataan yang salah yang terjadi dimasyarakat. Dengan kata lain, kumpulan data dan materi investigasi hanya sebuah bahan untuk sebuah fakta.
      Investigative journalism bukan hanya menyampaikan sebuah dugaan adanya sebuah persoalan pelanggaran, melainkan juga merupakan kegiatan memproduksi pembuktian konklusif dan melaporkannya secara jelas dan smpel.
      Hal ini terkait dengan kegiatan membuat pengisahan menjadi berkembang pada keadaan ketiadaan dokumen dari pihak- pihak yang hendak dilaporkan pelanggarannya. Kalaupun semua bahan telah terkumpul, hal itu berkemungkinan hanya membuat kisah tentang dugaan dan penyangkalan, meletakkan para pembaca untuk memutuskan sendiri siapa yang dipercayainya.
      Karena itulah, kegiatan jurnalisme investigative terkait dengan upaya mengembangkan bangunan fakta- fakta. Berbagai dokumen dieksploitasi interpretasinya. Berbagai konsesi diperhatikan dampak- dampaknya. Berbagai klaim dan tuntutan dihitung kerangka pemikirannya. Berbagai indikasi ditelusuri, dicari melalui berbagai kenyataan.
E.     Sebuah Area Tersembunyi.
      Bila ditarik kebelakang jenis pemberitaan jurnalisme investigative memiliki cirri yang tidak jauh berbeda dengan konsep pemberitaan yang ada didalam terminology jurnalistik. Definisi berita memberikan ilustrasi bahwa pada tiap pelaporan wartawan slalu diperlukan upaya untuk mengendus kejadian yang dibutuhkan masyarakat. Berita sendiri mendefinisikan adanya upaya pelaporan wartawan, bila tidak ditulis peristiwanya oleh wartawan maka peristiwa tersebut hanyalah akan menjadi sekedar informasi yang beredar dari mulut ke mulut dimasyarakat. Atau sekedar menjadi laporan dari berbagai lembaga kemasyarakatan atau pemerintah yang terkait dengan peristiwa tersebut.
      Kerja investigasi wartawan kerap menemukan area liputan yang mesti dibuka dengan sengaja, dicari dengan hitungan asumsi tertentu. Dan dikontak dengan ketekunan dalam menarik narasumber untuk membeberkan keterangan yang diperlukan. Karena itulah berbagai data dan keterangan yang didapat dari sebuah kisah berita memerlukan analisis kritis wartawan investigative. Tidak sesederhana di dalam peliputan yang dapat langsung mencatat berbagai rentetan keterangan dari sebuah peristiwa berita regular atau seremonial.
      Para wartawan investigasi juga kerap harus jeli dan waspada terhadap berbagai kisah berita yang tersebar dimasyarakat. Beberapa pihak sengaja menyewa perusahaan public relations untuk membuat perencanaan kisah berita tertentu. Lalu, membayar kerja pengacara untuk menyangkal berbagai isu yang tersebar. Public tentu saja akan menolak paparan kisah berita yang dikemukakan para petugas hubungan masyarakat (Humas). Dari sanalah, para pekerja media jurnalistik memulai rangkaian liputan investigasinya.
      Mereka mulai meneliti berbagai item berita yang dapat diungkap untuk konsumsi pemberitaan media harian dan mingguan. Mereka juga mulai menyusun strategi untuk wawancara yang dapat membuka selubung bukti keterangan yang sengaja dirancang. Selain itu, juga memulai rancangan kegiatan penulisan yang dapat diterima public.
F.     Antara Paper & People Trails.
      Salah satu jenis unggulan jurnalisme, yang mewadahi kapasitas yang diperlukan oleh para reporter investigative, ialah kemampuan untuk menentukan lokasi permasalahan, kemampuan memahami dan menunjukkan berbagai keterangan dan dokumen yang digunakan untuk menjelaskan kenyataan kisah.
1.      Penelusuran Dokumentatif
            Kegiatan meneliti paper trails ialah pekerjaan menelusuri berbagai materi yang bersifat dokumentasi. Riset menjadi pekerjaan lanjutan yang sangat berperan. Pekerjaan paper trails membutuhkan upaya pengembangan sistematika perencanaan untuk mengorganisir keseluruhan informasi. Pekerjaan membuat indeks dan menyimpannya didalam rancangan yang sistematis, untuk memudahkan pengulasan terhadap bahan- bahan yang dibutuhkan.
2.      Pe nelusuran Narasumber
            Investigating Individuals adalah isstilah lain dari paper trails, yaitu menyangkut kegiatan pencarian dan wawancara dengan para narasumber. Hal ini terkait dengan kegiatan mendapatkan keterangan dari para narasumber yang berwenang, kredibel, dan legitimet, untuk memperkuat pembuktian dari fakta yang hendak dilaporkan.
G.    Karakteristik Lain.  
      Dari keseluruhan kerja peliputan yang dilakukan jurnalisme investigative pada umumnya ditemukan beberapa unsure yang dapat dikenali yang menjadi karakteristik wacana reportase investigative. Weinberg memberikan unsure- unsure tersebut sekaligus menunjukkan langkah- langkah kerja reportase investigative biasanya dilakukan.
1.      Subjek Investigasi
            Jurnalisme investigative memerlukan pengenalan terhadap subjek- subjek liputan. Sebelum melakukan kerja investigasinya, wartawan investigator mesti mengukur ketepatan subjek investigasinya. Wartawan investigative harus menggabungkan dua unsure yang didalam dirinya temperamen dan talenta investigasinya.
2.      Hipotesis Riset
            Hipotesis tentative yang dilakukan didalam kerja investigasi berbeda dengan ketertutupan pikiran. Maka itulah Harsono mengindikasikan kerja liputan investigative yang antara lain berciri :
·         Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.
·         Paper trail(pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, public maupun pribadi, untuk mencari kebenaran- kebenaran untuk mendukung hipotesis.
·         Wawancara yang mendalam dengan pihak- pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background terhadap topic investigasi.
·         Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan anti-kriminalitas. Metode ini termasuk melakukan penyamaran. Sedangkan alat- alat bisa termasuk kamera tersembunyi atau alat- alat komunikasi elektronik untuk merekam pembicaraan pihak- pihak yang dianggap tahu persoalan tersebut. Hal ini memang mirip kerja detektif.
3.      Narasumber
4.      Teknik riset
5.      Mengorganisir informasi dan menulis- ulang
6.      Berpikir wisdom
7.      Dimensi lain
8.      Teknologi: alat bantu
BAB V. INVESTIGATIVE REPORTING
A.    Pengertian Reportase Investigatif
      Reporting berasal dari kata reportare yang berarti membawa pulang sesuatu dari tempat lain. Hal itu menjelaskan seorang wartawan yang membawa laporan kejadian dari sebuah tempat dimana telah terjadi sesuatu. Sementara investigative berasal dari kata latin vestigum yang berarti jejak kaki. Pada sisi ini, hal itu menyiratkan berbagai bukti yang telah menjadi suatu fakta, berbentuk data dan keterangan, dari sebuah peristiwa.
      Dari berbagai gambaran tersebut, tampaknya, secara ringkas, reportase investigasi yang oleh Atmakusumah diistilahkan dengan laporan penyidikan dapat dipahami melalui lima tujuan sifat pelaporannya:
1.      Mengungkapkan kepada masyarakat, informasi yang perlu mereka ketahui karena menyangkut kepentingan atau nasib mereka.
2.      Laporan penyidikan tidak hanya mengungkapkan hal- hal yang secara operasional tidak sukses, tetapi dapat juga sampai kepada konsep yang keliru.
3.      Laporan penyidikan itu beresiko tinggi, karena bisa menimbulkan kontroversi dan bahkan kontradiksi dan konflik.
4.      Karena itu harus jauh- jauh hari dipikirkan akibat- akibat yang dapat ditimbulkan.
5.      Untuk menghadapi dilemma ini diperlukan kecintaan dan semangat pengabdian kepada kepentingan masyarakat luas.
B.     Reporter Investigatif  
Secara keseluruhan dunia kerja peliputan wartawan merujuk kepada tiga tipe yaitu :
1.      Reporter tipe general ialah para wartawan yang mencari berita tanpa mengetahui lebih dahulu subjek yang hendak diliputnya.
2.      Reporter specialist adalah wartawan yang memilki rincian keterangan, mengenai subjek liputan mereka, dan mencoba menjelaskannya.
3.      Reporters with an investigative turn of mind adalah selalu menyiapkan diri untuk mendengarkan berbagai hal yang dikatakan orang- orang kebanyakan atau orang- orang biasa saja, yang tidak pernah menjadi narasumber (non-spokesmen).
Syarat liputan bagi wartawan :
C.    Penyamaran (going undercover)
D.    Proses kerja investigasi
E.     11 langkah paul Williams
a.       Conception
b.      Feasibility study
c.       Go-No-Go decision
d.      Basebuilding
e.       Planning
f.       Original research
g.      Reevaluation
h.      Filling the gaps
i.        Final evaluation
j.        Writing and rewriting
k.      Publication and follow-up stories
F.     2 bagian + 7 rincian langkah coroner
a.       Bagian pertama
·            Petunjuk awal (first lead)
·            Investigasi pendahuluan (initial investigational)
·            Pembentukan hipotesis (forming an investigative hypothesis)
·            Pencarian dan pendalaman literature (literature search)
·            Wawancara para pakar dan sumber- sumber ahli (interviewing experts)
·            Penjejakan dokumen- dokumen (finding a peaper trail)
·            Wawancara sumber- sumber kunci dan saksi- saksi (interviewing key informants and sources)
b.      Bagian kedua
·            Pengamatan langsung dilapangan (first hand observation)
·            Pengorganisasian file (organizing files)
·            Wawancara lebih lanjut (more interviews)
·            Analisis dan pengorganisasian data (analyzing and organizing data)
·            Penulisan (writing)
·            Pengecekan fakta (fact checking)
·            Pengecekan pencemaran nama baik (libel check)
G.    Cerita dibalik berita investigasi tempo
H.    Berbagai tips investigasi reporting
1.      Orang yang berbeda melihat peristiwa atau isu yang sama dengan cara yang berbeda.
2.      Sumber yang sama akan melaporkan peristiwa yang sama secara selektif dan berbeda, terganung kepada khlayak.
3.      Bagaimana fakta- fakta dilaporkan dan berita dibentuk tergantung pada (a) sifa dari proses pengumpulan berita, (b) bagaimana berita dirumuskan, (c) bagaimana berita dibuat rasional, (d) bagaimana berita dinilai lebih dulu, (e) bagaimana reporter mengatasi tekanan untuk menghasilkan berita yang baik.

BAB VI. RISET INVESTIGASI    
A.    Pentingnya Riset
Secara umum ada beberapa teknik yang biasanya dipakai seorang investigator, yakni :
1.      Riset dan reportase yang mendalam dan berjangka waktu panjang untuk membuktikan kebenaran atau kesalahan hipotesis.
2.      Paper rail (pencarian jejak dokumen) yang berupa upaya pelacakan dokumen, public maupun pribadi, untuk mencari kebenaran- kebenaran untuk mendukung hipotesis.
3.      Wawancara yang mendalam dengan pihak- pihak yang terkait dengan investigasi, baik para pemain langsung maupun mereka yang bisa memberikan background terhadap topic investigasi.
4.      Pemakaian metode penyelidikan polisi dan peralatan kriminalitas.
5.      Pembongkaran informasi yang tidak diketahui public maupun informasi yang sengaja disembunyikan oleh pihak- pihak yang melakukan atau terlibat dalam kejahatan.
B.     Pricision Journalism
1.      Tahap pertama ialah tahap pelaksanaan kegiatan riset.
a.       Pendefinisian isu
b.      Pencarian acuan literature teori
c.       Pengerangkaan rancangan liputan
d.      Serta penelusuran
e.       Pencarian
f.       Pengolahan dan pembahasan akumulasi fakta.
2.      Tahap kedua ialah tahapan kerja penulisan.
a.       Pemberian kelengkapan atribut nara sumber
b.      Keseimbangan melaporkan pihak yang berkonflik
c.       Keobjektifan fakta- berita
d.      Kejelasan
e.       Keringkasan serta kesederhanaan penyajian berita.
C.    Hipotesis Investigasi
D.    Awalnya, survey
a.       Contoh sebuah survey
b.      Membangun pertanyaan
c.       Menguji pertanyaan
d.      Mengidentifikasi sampel = responden
E.     Sumber- sumber informasi
a.       Sumber primer dan skunder
b.      Riset sumber primer
c.       Riset sumber sekunder
F.     Sumber informasi lain : internet alat bantu
1.      Electronic mail atau e-mail
G.    Beberapa catatan
           
BAB VII. WAWANCARA INVESTIGASI   
A.    Beberapa segi
B.     Aturan umum wawancara
a.       Dalam menjalankan wawancara, yang terbaik adalah melontarkan pertanyaan yang tersusun atas dua kata.
b.      Ada satu ketika ditengah wawancara, anda kehabisan ide dan bahan pembicaraan, lantas terjadi kebisuan.
c.       Jangan lontarkan pertanyaan- pertanyaan tolol.
d.      Ada dua metode yang umum dilakukan untuk mendapatkan hasil wawancara : mencatatnya diatas kertas atau merekamnya.
e.       Alat perekam dianjurkan digunakan untuk merekam isu- isu controversial.
f.       Sama halnya dengan fakta dan informasi lainnya, hasil wawancara harus senantiasa dicek dan re-cek kembali, terutama jika menyangkut isu- isu controversial.
g.      Dalam menuliskan kembali hasil wawancara, hal yang juga kerap dilupakan para penulis adalah kaidah- kaidah bahasa penulisan kalimat langsung menjadi tak langsung.
C.    Melakukan wawancara ( investigative)
D.    Jenis wawancara investigasi
a.       Wawancara telephon
b.      Wawancara langsung
c.       Konperensi pers
d.      Interview from the outside in
e.       Smoking- gun interviews
f.       Double-checks dan triple-check

BAB VIII. PENULISAN DAN ETIKA INVESTIGASI
A.    Penulisan
B.     Beberapa segi penulisan investigative
C.    System memo : untuk menyusun data
1.      Copy ready ialah pengklasifikasian keseluruhan fakta yang mengerangka pengkotakan jenis materi
2.      Memo procedural ialah kumpulan fakta- fakta yang tidak masuk ke dalam kerangka pengkotakan yang telah dibuat.
D.    Struktur penulisan investigative
1.      Bagian awal (leads)
2.      Bagian tengah (middles)
3.      Bagian akhir (endings)
E.     Unsure yang biasa dipakai kisah investigative
1.      Lead rangkuman
2.      Lead blok dan nut graph
3.      Paragraph berpeluru (bulleted paragraph)
4.      Anekdot dan observasi
5.      Menemukan benang
6.      Sudut pandang orang pertama (a first person article)
F.     Mempersiapkan penulisan
1.      Pemakaian akumulasi fakta berdasarkan hasil pelaksanaan riset yang teliti dan ekstensif.
2.      Mempergunakan keterangan- keterangan yang didapat dari proses wawancara, dengan arah pertanyaan yang telah dipersiapkan kearah materi investigative yang hendak dilaporkan.
3.      Segala keterangan telah dikonfirmasikan kepada narasumber.
4.      Memperhitungkan kerangka, atau konteks yang terkait dengan materi, melalui berbagai keterangan yang didapat dari sumber- sumber off the record.
5.      Melakukan pemilihan jenis lead yang tepat.
6.      Pemakaian paragraph- paragraph berpeluru, yang membantu meringkaskan pemahaman khalayak, untuk awal sebuah laporan kisah investigasi yang panjang.
G.    Etika dan hokum dalam investigative
1.      Penjulukan
2.      Akurasi laporan investigasi (soal etika dan hokum)
BAB IX. PERKEMBANGAN JURNALISME INVESTIGASI
A.    Perkembangan reportase
B.     Film investigative
C.    Perkembangan lain: pengaruh politik ekonomi
D.    Kasus jay harris
E.     Agenda global

0 komentar:

Posting Komentar

 
Dani-Quinchy © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates