Sumber : Padang Ekspres 8
Juni 2008

Hal itulah
yang membuatnya terus bersemangat untuk hidup, bertahan dari penyakit yang telah
dideritanya selama dua tahun. Tidak itu saja, setiap malam ia menghabiskan
waktu duduk di tangga batu dekat tepi pantai. Katanya, ia menantikan sebuah
kapal yang akan membawa ayahnya pulang dari melaut. Bahkan, ia selalu berharap
agar Tuhan mengembalikan ayahnya yang telah berlayar hampir empat tahun.
Sementara ibunya, Lisa jadi teringat dengan kalimat yang dengan jelas ia dengar
dua setengah tahun lalu; kau jangan
kemana-mana, anak haram! Diam di rumah dan tunggu sampai ibu pulang.
Kalimat itu ia dengar ketika ibu sedang merias wajahnya di depan cermin.
Kemudian, sejak malam itu, ibunya tak pernah kembali lagi.
Di dalam
rumah, Lisa hanya sendirian.
Baginya, menjadi
penjual bunga adalah kehidupan yang menyenangkan. Kadang sesaat, ia berpikir
untuk tetap bertahan di Quebrada agar ia dapat menjual bunga-bunga yang masih
segar di sekitar pantai atau Terrazas. Di tempat itu, ia akan menemukan
orang-orang yang sedang jatuh cinta lalu mereka akan membeli setangkai bunga
untuk pasangannya. Bunga segar tersebut dijual Lisa setelah berhari-hari ia
perhatikan di dalam pot dan ia percaya bahwa kelopaknya telah merekah dan siap untuk
dijual.
Walaupun
sebenarnya Lisa belum pernah merasakan jatuh cinta kepada seseorang atau
sebaliknya tetapi ia memiliki kerinduan yang dalam kepada ayahnya. Sampai
sekarang pun kerinduan itu masih terus tumbuh. Kerinduan yang akan memupuk rasa
cinta menjadi teramat dalam. Oleh sebab itu pula, telah bersemayam keyakinan
yang abadi di dalam dirinya. Setiap malam ia akan menantikan kapal milik
ayahnya bersandar di tepi pantai. Kapal dengan layar utama, layar pembantu,
pucuk kapal, pelampung, sekoci dan warna bendera yang sangat akrab dalam
ingatannya. Maka ayahnya akan berkata; halo nak, ayah membawa banyak ikan.
Juga salmon kesukaanmu. Ayo kemari, peluk ayah.
Begitulah
impian dan harapannya. Keyakinan benar-benar telah tumbuh dan abadi di dalam
dirinya. Sementara, setiap kali ke bibir pantai, ia selalu menyaksikan gulungan
ombak menjilat kakinya dengan lembut, menghantam dinding batu dan mengikisnya.
Dan seperti sesuatu yang mustahil jika ayahnya akan kembali.
Pernah suatu
ketika badai kencang dan gelombang tinggi melanda Milaflores. Ketika itu, saat
badai dan gelombang benar-benar telah mencapai puncak kejayaannya, Lisa berlari
menyusuri Avenida Pardo dan Avenida Grau yang berliku dan lengang. Ia menuju tangga batu dekat tepi pantai dengan setangkai
bunga yang sebagian kelopaknya telah lepas. Ia berdiri disana.
“Ayah, ayah,
ayah! Aku membawa setangkai bunga segar untukmu.” Ia berteriak. “Ayah lihatlah!
Lihat.” Dan seketika itu, teriakannya ditelan suara ombak dan badai. Walaupun
demikian, ia tetap percaya bahwa ombak akan mengantarkan ayahnya pulang.
Begitulah.
Kemudian ia
tersentak dan tersadar bahwa matahari telah menghilang di telan bangunan di
kawasan Parque Central. Saatnya bagi Lisa menutup pintu dan menghabiskan malam
dengan kesendiriannya. Sebentar kemudian, ia sempatkan untuk menghitung dan
memperhatikan bunga-bunga di dalam pot di depan halaman rumahnya.
Di waktu
malam, pekerjaan yang sering ia lakukan adalah memilah kelopak-kelopak bunga
yang tidak terjual untuk dibawa ke pemakaman. Kadang, orang-orang akan
membutuhkan kelopak-kelopak tersebut ketika salah seorang keluarga, kerabat
atau saudara jauhnya telah meninggal dalam waktu beberapa hari. Seketika itu,
Lisa menangis tersedu-sedu kemudian ia akan teringat orangtuanya.
Begitulah
perasaannya, ia membayangkan kematian orang tuanya. Ia akan merasa nyaman bila
ia dapat memastikan bahwa orangtuanya itu masih ada dekat di sampingnya
walaupun harus dalam keadaan tidak bernyawa. Maka, ia dapat menyiram pemakaman
ayah dan ibunya itu dengan air suci lalu ia akan menaburnya dengan
kelopak-kelopak bunga yang ia pilah setiap malam. Kemudian, ia akan bercerita
sendirian di samping makam-makam itu sampai bosan.
Bayangan itu
terus berkelebat setiap malam terutama setiap kali ia memilah kelopak bunga
berwarna merah. Ia terus tersedu sampai tertidur.
***
Hal yang
membuatnya sampai tersungkur jatuh, terjerembab dari atas kasur dan merintih
sambil menekan perutnya hingga bibi Hilda harus datang menolongnya adalah
ketika penyakit kronisnya kumat lagi. Dan pagi ini, hal itu terjadi lagi. Bibi
Hilda―tetangga satu-satunya yang paling akrab dengan Lisa―datang setelah ia
mendengar jeritan Lisa sampai ke telinganya. Lalu, seketika itu, bibi Hilda
bergegas membawa Lisa ke rumah sakit terdekat.
Beberapa
hari setelah dokter mengizinkan Lisa untuk pulang, bibi Hilda kembali menyarankan
agar Lisa berkenan tinggal bersamanya dan berhenti menjual bunga. Sama seperti
jawaban sebelumnya, Lisa tetap menolak penawaran itu karena ia tidak ingin
meninggalkan pekerjaan yang sangat disenanginya selama ini. Namun demikian,
bibi Hilda tetap terus memberlakukan penawaran itu.
Ketika kondisi
kesehatan Lisa mulai membaik, ia dihadapkan oleh pengakuan dari seorang nelayan
yang secara tiba-tiba datang ke rumahnya. Nelayan tersebut tidak lain adalah
laki-laki yang sepulang melaut sering menukarkan seekor ikan salmon miliknya
dengan setangkai bunga yang dijual Lisa. Laki-laki itu mengatakan bahwa ia
telah mendapat kabar gembira dari pulau seberang―yang kira-kira jaraknya
sepuluh kilometer dari bibir pantai. Ia menjelaskan dengan sejelas-jelasnya
bahwa seseorang telah menemukan ayah Lisa dalam keadaan hidup dan berlayar
dengan kapal yang sama persis dengan kapal yang dinahkodainya hampir empat
tahun lalu.
Sungguh!
Ayah Lisa akan pulang dalam waktu dekat.
Lisa
mempercayai apa yang dikatakan nelayan itu. Ia tidak akan berkesimpulan bahwa
laki-laki itu adalah pembohong besar. Lalu, ia memberikan beberapa tangkai bunga
yang segar kepada laki-laki itu.
Barangkali
benar bahwa penantiannya tidak akan sia-sia. Hati kecilnya selalu punya
keinginan kuat untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan yang hampir mustahil untuk
dijelaskan dengan akal sehat. Ia akan bercerita kepada bunga apabila ia merasa
orang lain tidak akan mempercayai ceritanya. Ia akan berteriak kepada ombak
untuk menyampaikan kerinduan yang dalam dan membuncah kepada ayahnya.
Kepada
bunga. Kepada ombak. Ia akan terus menyatakan isi hatinya.
Akhirnya,
pada suatu ketika dimana badai kencang dan ombak bergejolak. Juga hujan deras.
Lisa mulai gelisah. Malam itu matanya tak mau terpejam. Kemudian ia teringat
penjelasan nelayan itu. Ia yakin bahwa laki-laki itu tidak akan berbohong
kepadanya. Dan, dengan segera, ia membunuh pikiran buruknya.
Ia meloncat
dari tempat tidur dan bergegas keluar. Sesaat itu pula, ia menerobos hujan dan
menyusuri jalan. Menyusuri Avenida Pardo dan Avenida Grau yang berliku dan
lengang. Sebentar kemudian, ia sampai di tangga batu dekat tepi pantai dengan
setangkai bunga―yang kelopak-kelopaknya telah lepas―dalam genggaman tangannya. Ia
melepas pandangan ke segala penjuru. Seketika itu, rasa sakit menjalar di
tubuhnya. Ia merintih dan menekan perutnya yang sakit sambil tetap terus
mempertahankan pandangannya.
Kemudian
matanya tertuju pada sesuatu yang bergerak di laut. Sesuatu dengan lampu sorot
yang menyilaukan. Di dalam terpaan hujan, badai dan ombak, ia terus
memperhatikan sumber cahaya tersebut. Walaupun samar-samar, ia dapat melihat
dengan pasti sesuatu dengan layar utama, layar pembantu, pucuk kapal,
pelampung, sekoci dan warna bendera yang sangat akrab dalam ingatannya.
Itu sebuah
kapal!
Sayup-sayup
ia pun mendengar; turunkan sekoci! Turunkan! Bawa ikan-ikan salmon itu
turun.
Rumah Teduh, akhir April 2008
0 komentar:
Posting Komentar