Sumber :
Padang Ekspres 5 Agustus 2007

“Kau sudah bangun?” sapa Hyun.
“Ah, aku belum ingin bangun. Sayang, bisakah kau
tutup tirai itu?” pintaku. Hyun malah menghampiri jam weker yang terletak di
atas meja dekat tempat tidur. Kemudian Ia mengangkat jam weker itu lalu
menunjukannya padaku.
“Kau tahu jam berapa sekarang?”
Aku kaget dan langsung melompat dari tempat tidur.
“Ya ampun! aku lupa menyetel alarmnya,” pikirku sembari bergegas ke kamar mandi
tanpa melepas piyama.
Sarapan tersaji. Masakan Hyun menjadi sesuatu yang
selalu ditunggu-tunggu setiap pagi ketika aku akan berangkat kerja.
Rupa-rupanya aku telah jatuh cinta tidak hanya pada Hyun tapi juga pada
masakannya. Sungguh. Kimchi buatannya pagi ini pasti enak. Kadang-kadang
bulgogi di akhir pekan yaitu potongan-potongan daging yang dipanggang di atas
tungku setelah diasinkan dalam sebuah pencampur sambal, minyak wijen, bawang
putih, biji wijen, bawang hijau dan bumbu makanan lainnya. Ia tahu kalau aku
suka pedas dan panas jadi ia menyajikannya dengan “sedemikian rupa.” Makan
dengan tenang. Selepas sarapan aku pamit lalu bergegas turun sedang Hyun
membereskan kembali meja makan. Segera. Turun dengan lift. Tidak. Beberapa hari
yang lalu lift di sini rusak akibat salah seorang penghuni apartemen salah
menekan tombol dari dalam lift tersebut, jadi harus menggunakan satu-satunya
alternatif lain yaitu dengan menuruni tangga. Butuh waktu cukup lama juga untuk
turun dari lantai 26 ini. Ya. Apalagi untuk sampai ke tempat kerja, aku
mengukur waktu supaya tidak terlambat. Sesampai di bawah aku cukup merasa
kelelahan. Sedikit berkeringat. Di depan apartemen terdapat sebuah kolam yang
dihiasi dua kumpulan teratai. Di tengahnya berdiri kokoh sebuah patung yaitu
seorang perempuan (kira-kira usianya tiga puluh-an) yang memegang setangkai
teratai di tangan kanannya, sedangkan tangan kiri menyentuh dada dan matanya
menatap jauh ke dalam air yang berada di kolam tersebut. Biasanya tiap-tiap
rumah ada kolam teratainya tapi sekarang kebiasaan itu hampir jarang dijumpai
kecuali di rumah-rumah daerah pedesaan. Di apartemen ini pun mungkin hanya
suatu kebetulan yang wajar. Jalan penuh sesak. Orang-orang lebih senang berjalan
kaki daripada naik bis. Jalan kaki menjadi alternatif yang dipilih supaya tidak
terlambat pergi ke kantor, sekolah, dan segala tetek bengek kegiatan
sehari-hari lainnya. Mereka beranggapan bahwa jalan kaki lebih cepat sampai di
tujuan daripada naik bis. Terbukti. Di halte. Aku menunggu lagi seperti biasa.
Bis layaknya mesin pengendali kehidupan. Terlambat sedetik saja bisa jadi
terlambat berjam-jam. Untung saja tidak terlambat. Akhirnya sampai juga.
Aku bekerja di Chosun Ilbo. Sebuah instansi surat
kabar tertua yang ada di Korea. Dong-A Ilbo. Juga merupakan yang tertua
bersamaan dengan Chosun Ilbo. Media-media tersebut diresmikan pada tahun 1920
yang (menurut kabarnya) dianggap untuk kemerdekaan dan kebijaksanaan dalam
mempengaruhi opini publik. Sungguh pengalaman yang menyenangkan bisa melakukan
pekerjaan sebagai seorang kreator pada media yang namanya sudah melanglang
buana itu. Tidak mudah mendapatkan pekerjaan ini jadi harus berusaha semaksimal
mungkin.
Pernah suatu ketika aku membuat satu kesalahan
(tepatnya kelalaian) sehingga redaktur memaki-maki aku dan hasil kerjaku yang
menurutnya berantakan. Aku tidak terpukul. Sedih. Juga tidak. Malah jadi tambah
semangat bekerja dan lebih berhati-hati lagi. Jadwal kerja semakin padat.
Sirkulasi surat kabar meningkat tajam. Hampir sepertiga hari kuhabiskan hanya
untuk duduk di kursi kerja. Sibuk. Repot.
Lelah. Kata-kata itu sering muncul dalam pikiranku
setiap kali usai bekerja. Betapa tidak, pagi-pagi tumpukan kertas sudah menanti
lagi di atas meja kerja. Pulang larut. Disamping itu semua, ada hal lain yang
mesti diutamakan. Keluarga. Ya. Ketika tiba di rumah, Hyun seperti biasa
menunggu kepulanganku di kursi sofa dekat depan pintu. Suamiku. Ia laki-laki
tangguh yang bekerja di rumah layaknya seorang ibu rumah tangga. Ia
menggantikan peran sesungguhnya seorang istri. Kadang-kadang ia juga sempat
menulis. Profesinya. Tulisannya pernah dimuat dalam surat kabar tempat aku
bekerja (kadang-kadang juga disurat kabar lain). Ia begitu perhatian padaku
dalam hal apapun. Juga pengertiannya itu. Aku jadi takut kehilangannya. Takut
kalau-kalau nanti ia berubah pikiran.
Festival Chusok. Hari yang ditunggu-tunggu di mana
aku bisa membagi waktu dengan suami di luar pekerjaan. Hilang beban sejenak.
Chusok merupakan perayaan besar yang diiringi oleh tarian Kanggangsuwolle untuk
memperingati hari lahirnya Budha. Di adakan di sebuah ruangan seperti arena
yang luas, biasanya ruangan tersebut memang ditujukan untuk perayaan-perayaan
besar (kadang-kadang juga untuk pementasan). Aku menikmatinya. Juga suamiku.
Tidak. Sanak keluarga tidak sedang bersama kami. Wajar. Aku sudah memilih Hyun.
Aku yakin dengan pilihan ini. Sebenarnya memang dari dulu mereka tidak
menyetujui hubunganku dengan Hyun. Akhirnya kami memutuskan untuk pergi jauh
meninggalkan mereka. Ah, aku jadi teringat mereka lagi. sudahlah.
Sekarang hidup kami sudah mapan tapi rasanya masih
ada saja yang kurang. Ya. Sudah sewindu kami menikah tapi belum juga dikaruniai
seorang anak yang keberadaannya selalu didambakan dalam kehidupan rumah tangga.
Segala cara kami lakukan. Segala obat kami coba. Ada juga yang dicoba-coba.
Pernah juga sekali waktu kami konsultasi ke klinik. Dokter bilang suamiku yang
tidak mau “berusaha.” Sebenarnya bisa saja kami mengadopsi seorang anak tapi itu
bukanlah suatu keputusan akhir yang kami anggap baik. Hyun tidak marah. Putus
asa. Tidak juga. Sedih apalagi. Padahal aku berkali-kali mencemaskannya, tapi
ia tak memberi reaksi sedikitpun. Apa ia merasa hal ini tidak terlalu penting?
Apa mungkin ini karma? Lama-lama kami jadi merasa asing. Kemelut batin yang
juga asing.
***
Tidak seperti hari-hari yang lalu. Aku pulang
larut lagi. Lebih larut dari biasanya. Di salah satu sudut dinding, jarum jam
menunjukan pukul dua belas lewat dua puluh lima menit tengah malam. Hyun masih
duduk di sofa. Menungguku. Tapi kali ini aku merasa seolah-olah ia menyambut kepulanganku dengan
ribu-ribu pertanyaan. Kemudian ia memanggilku untuk duduk di dekatnya. Aneh.
Padahal biasanya ia langsung menuntunku ke kamar tidur. Aku langsung berpikir
kalau ia akan mengatakan sesuatu yang sangat penting. Lebih dari kata-kata yang
pernah diucapkannya selama ini. Akhirnya aku pun menurutinya.
“Hwa Rin, aku mau bicara. Mungkin sebuah
pertanyaan,” Hyun menatapku tajam.
“Pasti sesuatu yang penting,” aku menebak sembari
meletakkan tas kerjaku di atas meja dekat sofa tempat Hyun duduk.
“Menurutku”
“Menurutmu?”
“Ya, menurutku. Aku tidak yakin menurutmu juga
sama denganku,” Ia lebih tajam lagi menatapku. Sampai ke isi dalam mataku. Aku
jadi semakin bingung dengan apa yang ia sampaikan diawal pertanyaan yang akan
diutarakannya. Semakin penasaran. Aku menimbang bahwa aku ini istri yang baik
selama ini. Bahkan menurut sudut pandangku, aku tidak pernah melakukan
kesalahan yang akan membuatnya sakit hati atau mungkin melakukan sesuatu yang
tidak menyenangkannya. Aku coba mengingat kembali satu persatu. Benar-benar
tidak ada. Sungguh.
“Apa yang menurutmu penting sayang,” kucoba
memegang tangannya.
“Boleh aku minum dulu?” pintanya.
“Minum? Jadi itu yang menurutmu penting?” aku
berbalik tanya.
“Bukan, aku benar-benar ingin minum!” tegasnya.
“Oh, sebentar.” Lalu aku bergegas ke dapur.
Semakin bingung. Kusut. Serupa benang kusut yang
masuk dalam kepalaku. Sulit untuk digulung dengan rapi. Ah, mungkin aku terlalu
berpikiran buruk sehingga aku tenggelam dalam kecemasan. Padahal setahuku
selama ini hubunganku dengan Hyun baik-baik saja. Sekiraku kalau boleh aku
bangga, rumah tanggaku mungkin lebih baik (boleh dibilang akur) daripada keluarga
kebanyakan. Kutuang air dari cerek yang terletak di atas etalase dekat sudut
dapur ke dalam cangkir bermotif teratai yang tertelungkup di atas meja dapur.
Lalu kembali ke ruang tamu tempat Hyun menunggu secangkir air putih dariku.
Sebelum sampai, di balik daun pintu menuju ruang tamu kuhentikan langkahku
sebentar. Kulihat ia masih duduk di sofa dengan wajah mengkerut dan tangan yang
menekuk di keningnya. Sempat terpikir olehku, pertanyaan apa yang akan
disampaikannya padaku hingga ia begitu kalutnya. Ah, lagi-lagi aku begini.
Kuhampiri ia. Sebelum meneguk air itu, sekilas ia menatap tajam lagi padaku.
Sekiraku, aku ini seperti orang lain saja di matanya. Ah, lagi-lagi! Ia
meminumnya. Kubayangkan kalau air putih itu adalah aku. Ditelan ke dalam
perutnya yang gelap.
“Terima kasih Hwa Rin”
“…”
“Dam Hwa Rin? Kenapa?”
“Oh, tidak”
“Aku jadi ragu untuk menanyakannya”
“kenapa? Padahal sudah sedari tadi aku menantinya”
“Aku ragu bila melihat keadaanmu sekarang”
“Tidak, jangan urungkan. Aku sudah siap”
“Siap? Untuk apa? Tidak ada yang perlu di
persiapkan”
“Aku tahu, mulailah bertanya”
“Benarkah?”
“Ya, mulailah”
Lama sekali. Kami saling tertumbuk pandang.
Berdiam diri. Detak jarum jam berbunyi keras sekali hingga menimpali suara
apapun di ruangan ini. Aku masih menunggu lama hanya untuk sebuah pertanyaan
darinya. Pertanyaan yang barangkali menentukan hidup mati perjalanan rumah
tangga kami. Asumsiku demikian. Tapi tidak menutup kemungkinan juga perkiraanku
itu benar. Berbanding lima puluh persen dari kebalikannya.
“Apalagi?” tanyaku.
“Menyusun”
“Menyusun apa,” aku jadi heran.
“Kata-kataku”
“Langsung saja,” pintaku.
“Tidak bisa, salah-salah nanti bisa tersinggung”
“Tidak apa-apa, aku sudah terbiasa dengan itu”
“Siapa yang telah membuatmu tersinggung?” tanya
Hyun segera.
“Tidak separah yang kau bayangkan, hanya redaktur
yang sedikit kecewa kok,” aku memperjelas kata-kataku.
“Oh, jadi kau mengecewakannya?”
“Hanya sedikit, itu pun tidak begitu penting,”
dalihku.
“Syukurlah”
“Susunlah”
”Apa?”
“Kata-katamu tadi”
“Aku bingung memulainya, bagaimana kalau kita
istirahat dulu?” tawar Hyun.
“Mana bisa, aku tidak akan bisa tidur”
Ah, Hyun mulai berbelit-belit. Aku jadi tidak
nyaman. Apalagi untuk tidur. Ia seolah-olah mengulur waktu untuk sesuatu yang
sedang ditunggunya. Menunggu aku marah. Naik darah. Jangan sampai itu terjadi.
Tidak pernah ia seperti ini sebelumnya. Jauh hari aku mengenalnya sebagai orang
yang penyabar dan baik. Sempurna. Sangat jauh berbeda dengan Hyun yang baru kukenal malam ini. Ia begitu misterius.
Juga lebih serius dari biasanya.
“Bagaimana kalau kita berpisah,” tiba-tiba Hyun
mengatakan sesuatu. Hening. Apa yang sedari tadi terpikirkan olehku jadi
hilang. Aku seakan tidak percaya. Kalau bisa, aku ingin ia mengulangi
kata-katanya barusan. Kucoba itu.
“Apa?”
“Kita pisah”, jelas Hyun.
“Maksudmu cerai,” tanyaku ragu.
“Ya”
Sudah kuduga. Kecemasanku terungkap. Apa yang
menjadi ketakutanku selama bersamanya meledak seketika itu. Padahal sebelumnya
kami saling percaya bahwa akan segera memiliki anak. Kurasa aku tidak perlu
lagi menanyakan alasannya. Jawabannya sudah lama bersarang di kepalaku.
Kecukupan selama ini ternyata adalah kekurangan. Hyun menyimpan semuanya dan
sekarang ia utarakan. Luapan perasaan sebenarnya. Emosinya itu. Suasana hampa.
Beku. Teratai dalam kolam di depan apartemen hanya tinggal sekumpul. Lainnya
entah kemana (barangkali tercerai-berai).
Padang, 13 Mei 2007
0 komentar:
Posting Komentar