Cinta Dalam Percik Hujan

Sabtu, 10 September 2011 Label:

“Oh tidak. Hujan!” Ucap Diana dengan nada suara yang tinggi, berusaha mengalahkan bunyi hujan. Ia berlari mengejar halte, aku mengikutinya dari belakang.
Aku duduk di sampingnya sambil berusaha agar tidak kelihatan kikuk. Sementara, udara terasa dingin. Seekor burung berlindung di atas balkon rumah bertingkat di seberang jalan. Sementara, pakaian putih abu-abu yang lembab di tubuh Diana membuatnya terlihat memesona.
Aku ingin lebih lama lagi dalam deras hujan ini bersamanya, tanpa memperhitungkan kapan kami akan mengakhiri perjumpaan. Sepanjang hari. Siapa pun pasti selalu ingin dekat dengan Diana. Sudah pintar, jago masak, suaranya pun merdu.
Diana pernah menjuarai lomba menyanyi tingkat nasional. Meskipun begitu, Diana tidak pernah merasa angkuh dengan reputasi yang dimilikinya. Semua cowok jatuh hati dibuatnya. Semua cewek di sekolah iri padanya.
Dan, wajar saja kalau aku betah berlama-lama di halte ini bersamanya. Jarang banget cowok-cowok di sekolah yang punya kesempatan seperti ini. Tentu saja, aku tak ingin kesempatan seperti ini berlalu bagai angin. Inilah saat yang tepat untuk menyatakan perasaanku padanya.
Aku merasa beruntung. Dalam keadaan seperti ini, aku bisa duduk berdua dengannya, di halte. Rasa-rasanya aku ingin hujan terus turun sepanjang hari.
Diana mengibas rambutnya yang basah dengan kedua telapak tangannya yang mungil. Rambutnya berkilauan indah tergerai sepanjang bahu. Ia rapikan dengan hati-hati.
“Aku enggak menyangka kalau kita harus terkurung hujan begini,” aku memulai pembicaraan meskipun hatiku tiba-tiba berdebar dan sikapku yang terlihat canggung.
“Iya nih. Enggak tahu deh tiba-tiba turun hujan,” ujar Diana sambil terus merapikan rambutnya yang basah.
Beberapa saat kami kembali diam. Sepertinya suaraku ditelan gemericik hujan yang menusuk-nusuk atap halte. Kualihkan pandang kepada seekor burung yang masih berlindung di atas balkon. Burung itu terus mengibaskan sayapnya dan sesekali mengelusnya dengan paruh. Tentu saja burung itu tidak akan tahu kapan hujan akan berhenti. Ia juga tidak akan dapat menebak kapan si pemilik rumah akan muncul dari atas balkon dan mengusirnya.
Diana mendengus. Perhatianku terhadapnya jelas-jelas mengalahkan keelokan seekor burung di atas balkon. Matanya yang lembut memancarkan keriangan yang murni. Seolah-olah ratusan anak-anak sedang bermain komidi putar di dalamnya.
Diana tiba-tiba berdiri, mendekat ke arah hujan yang jatuh dari atap halte. Dia rentangkan kedua tangannya ke depan. Meraih hujan. Sehingga telapak tangannya menimbulkan percik air. Dan kurasa ia sedang berada dalam kebosanan yang abadi.
“Konyol sekali ya, di saat-saat seperti ini harus turun hujan,” aih, tidak. Aku mulai melakukan hal bodoh lagi dengan berkali-kali membicarakan cuaca.
Kuperhatikan, ia terus merentangkan tangannya dan membiarkannya dipercik hujan. Kurasa dia tidak mendengar apa yang baru saja kukatakan. Barangkali bunyi hujan lebih hebat dari keinginanku untuk mengajaknya bicara. Apakah dia benar-benar merasa bosan?
“Mosca,” katanya dengan suara yang pelan. Aku dengan sangat jelas mendengarnya. Tetapi dia tidak menoleh ke arahku. Pandangannya tertuju hanya pada percik hujan yang muncul dari telapak tangannya. Aku berdiri dan mendekatinya.
“Ya.”
“Aku suka hujan.”
“Ya.”
“Tetapi aku lebih suka beberapa saat setelah hujan reda.”
“Kenapa?”
“Biasanya akan ada pelangi.”
“Pelangi?”
“Ya.”
“Sebenarnya apa yang kau sukai?”
Diana menurunkan tangannya. Dia berbalik, mendengus dan duduk sambil menatap ke langit. Aku menjadi heran. Hujan pun mereda. Burung di atas balkon melangkah ke tepi, mengepakkan sayapnya berkali-kali untuk membuang sisa-sisa air yang menempel pada bulunya.
“Mengapa ya kita tidak bisa menyukai keduanya dalam waktu yang bersamaan?”
Aku terdiam. Tak dapat membendung pertanyaan yang dilontarkannya. Beberapa saat kemudian, hujan mereda. Pikiranku masih terusik oleh pertanyaan itu.
Tiba-tiba, sebuah sepeda motor merapat di depan halte. Itu Ramon, laki-laki yang senantiasa bersama Diana. Aku tak hirau. Kuperhatikan Diana mulai beranjak, matanya melompat jauh ke dalam sepeda motor itu. Perlahan-lahan tubuhnya juga beranjak ke sana. Dia tidak menunggu jawabanku. Aku terdiam.
Kutolehkan pandanganku ke atas balkon seraya membiarkan mereka pergi dengan meninggalkan suara sepeda motor yang semakin sirna di telingaku. Pada saat itu juga, burung itu terbang jauh meninggalkan rumah bertingkat yang lembab.



Eureka! 2011

0 komentar:

Posting Komentar

 
Dani-Quinchy © 2010 | Designed by Blogger Hacks | Blogger Template by ColorizeTemplates