“Oh
tidak. Hujan!” Ucap Diana dengan nada suara yang tinggi, berusaha mengalahkan
bunyi hujan. Ia berlari mengejar halte, aku mengikutinya dari belakang.

Aku
ingin lebih lama lagi dalam deras hujan ini bersamanya, tanpa memperhitungkan
kapan kami akan mengakhiri perjumpaan. Sepanjang hari. Siapa pun pasti selalu
ingin dekat dengan Diana. Sudah pintar, jago masak, suaranya pun merdu.
Diana
pernah menjuarai lomba menyanyi tingkat nasional. Meskipun begitu, Diana tidak
pernah merasa angkuh dengan reputasi yang dimilikinya. Semua cowok jatuh hati
dibuatnya. Semua cewek di sekolah iri padanya.
Dan,
wajar saja kalau aku betah berlama-lama di halte ini bersamanya. Jarang banget
cowok-cowok di sekolah yang punya kesempatan seperti ini. Tentu saja, aku tak
ingin kesempatan seperti ini berlalu bagai angin. Inilah saat yang tepat untuk
menyatakan perasaanku padanya.
Aku
merasa beruntung. Dalam keadaan seperti ini, aku bisa duduk berdua dengannya,
di halte. Rasa-rasanya aku ingin hujan terus turun sepanjang hari.
Diana
mengibas rambutnya yang basah dengan kedua telapak tangannya yang mungil.
Rambutnya berkilauan indah tergerai sepanjang bahu. Ia rapikan dengan
hati-hati.
“Aku
enggak menyangka kalau kita harus terkurung hujan begini,” aku memulai
pembicaraan meskipun hatiku tiba-tiba berdebar dan sikapku yang terlihat
canggung.
“Iya
nih. Enggak tahu deh tiba-tiba turun hujan,” ujar Diana sambil terus merapikan
rambutnya yang basah.
Beberapa
saat kami kembali diam. Sepertinya suaraku ditelan gemericik hujan yang
menusuk-nusuk atap halte. Kualihkan pandang kepada seekor burung yang masih
berlindung di atas balkon. Burung itu terus mengibaskan sayapnya dan sesekali
mengelusnya dengan paruh. Tentu saja burung itu tidak akan tahu kapan hujan
akan berhenti. Ia juga tidak akan dapat menebak kapan si pemilik rumah akan
muncul dari atas balkon dan mengusirnya.
Diana
mendengus. Perhatianku terhadapnya jelas-jelas mengalahkan keelokan seekor
burung di atas balkon. Matanya yang lembut memancarkan keriangan yang murni.
Seolah-olah ratusan anak-anak sedang bermain komidi putar di dalamnya.
Diana
tiba-tiba berdiri, mendekat ke arah hujan yang jatuh dari atap halte. Dia
rentangkan kedua tangannya ke depan. Meraih hujan. Sehingga telapak tangannya
menimbulkan percik air. Dan kurasa ia sedang berada dalam kebosanan yang abadi.
“Konyol
sekali ya, di saat-saat seperti ini harus turun hujan,” aih, tidak. Aku mulai
melakukan hal bodoh lagi dengan berkali-kali membicarakan cuaca.
Kuperhatikan,
ia terus merentangkan tangannya dan membiarkannya dipercik hujan. Kurasa dia
tidak mendengar apa yang baru saja kukatakan. Barangkali bunyi hujan lebih
hebat dari keinginanku untuk mengajaknya bicara. Apakah dia benar-benar merasa
bosan?
“Mosca,”
katanya dengan suara yang pelan. Aku dengan sangat jelas mendengarnya. Tetapi
dia tidak menoleh ke arahku. Pandangannya tertuju hanya pada percik hujan yang
muncul dari telapak tangannya. Aku berdiri dan mendekatinya.
“Ya.”
“Aku
suka hujan.”
“Ya.”
“Tetapi
aku lebih suka beberapa saat setelah hujan reda.”
“Kenapa?”
“Biasanya
akan ada pelangi.”
“Pelangi?”
“Ya.”
“Sebenarnya
apa yang kau sukai?”
Diana
menurunkan tangannya. Dia berbalik, mendengus dan duduk sambil menatap ke
langit. Aku menjadi heran. Hujan pun mereda. Burung di atas balkon melangkah ke
tepi, mengepakkan sayapnya berkali-kali untuk membuang sisa-sisa air yang
menempel pada bulunya.
“Mengapa
ya kita tidak bisa menyukai keduanya dalam waktu yang bersamaan?”
Aku
terdiam. Tak dapat membendung pertanyaan yang dilontarkannya. Beberapa saat
kemudian, hujan mereda. Pikiranku masih terusik oleh pertanyaan itu.
Tiba-tiba,
sebuah sepeda motor merapat di depan halte. Itu Ramon, laki-laki yang
senantiasa bersama Diana. Aku tak hirau. Kuperhatikan Diana mulai beranjak,
matanya melompat jauh ke dalam sepeda motor itu. Perlahan-lahan tubuhnya juga
beranjak ke sana. Dia tidak menunggu jawabanku. Aku terdiam.
Kutolehkan
pandanganku ke atas balkon seraya membiarkan mereka pergi dengan meninggalkan
suara sepeda motor yang semakin sirna di telingaku. Pada saat itu juga, burung
itu terbang jauh meninggalkan rumah bertingkat yang lembab.
Eureka! 2011
0 komentar:
Posting Komentar